MEMPERINGATI MAULID Adalah Syiar Bukan Syariat
Penulis :
DR. KH. Amirullah Amri, M.A
ISBN:
Desain Sampul dan Tata Letak: Abu Syahla Khairun
Penerbit : Mitra Ilmu
Ukuran : 23 x 15 cm (Standar UNESCO)
Kantor:
Jl. Talak Salapang (Dekat Kampus UNISMUH
Makassar)
Hp. 081340021801/ 0852-9947-3675/ 0821-9649-6667
Email : mitrailmua@gmail.com
Website : www.mitrailmumakassar.com
Anggota IKAPI Nomor: 041/SSL/2022
Cetakan pertama: Mei 2025
SINOPSIS :
Buku
yang Anda pegang saat ini, yang berjudul "Memperingati Maulid Adalah
Syiar Bukan Syariat", disusun sebagai bentuk kontribusi intelektual
sekaligus spiritual dalam menjernihkan berbagai persepsi dan kontroversi yang
kerap muncul di tengah masyarakat Muslim terkait dengan perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Dalam realitas sosial-keagamaan umat Islam, Maulid telah lama
menjadi bagian dari tradisi yang hidup dan berkembang, terutama di kawasan
Nusantara, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan manifestasi rasa cinta
yang mendalam kepada sosok Rasulullah SAW. Namun demikian, praktik ini tidak
luput dari kritik, utamanya dari kalangan yang memegang pendekatan tekstual
dalam memahami agama, yang menilai bahwa Maulid tidak memiliki dasar eksplisit
dalam Al-Qur’an dan Hadis yang sahih, sehingga tidak semestinya diamalkan,
apalagi dijadikan agenda keagamaan rutin. Di sisi lain, banyak pula ulama dan
tokoh agama yang memandang Maulid sebagai sarana dakwah dan pendidikan moral
yang efektif, selama isi dan bentuknya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Melalui
buku ini, penulis berusaha menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
pada dasarnya adalah sebuah syiar Islam, yakni bentuk simbolik dan
sosial dari pengamalan keimanan yang tidak bersifat wajib, melainkan dianjurkan
sepanjang mendatangkan kemaslahatan, memperkuat identitas keislaman, serta
menumbuhkan semangat meneladani akhlak dan perjuangan Rasulullah SAW. Syiar
dalam konteks ini bukanlah hal yang harus diposisikan sebagai bagian dari
syariat yang mengandung dimensi hukum taklifi seperti wajib, sunnah, makruh,
mubah, atau haram, melainkan lebih kepada ekspresi keagamaan yang berakar dari
tradisi lokal dan dipraktikkan dalam semangat cinta serta penghormatan yang
mendalam terhadap Nabi.